Archive for May, 2010


courtesy of melayuonline.com

Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.” (Milan Kundera)

Media televisi dalam sejarah perkembangannya di Indonesia pada khususnya, mau tak mau telah menimbulkan ekses ganda yang tak terpisahkan satu sama lain, bagai pisau bermata dua. Merupakan kenyataan yang tak dapat kita pungkiri bahwa; dari satu sisi media televisi cukup banyak berjasa dalam membukakan akses informasi yang semakin lebar bagi khalayak masyarakat. Namun di sisi lain, mesti dipahami juga mengenai karakter asli medium ini yang juga dapat berakibat “membutakan” baik bagi para pemirsanya, apalagi bagi para pelakunya. Karakternya yang memiliki dua wajah itulah yang menyebabkan media televisi masih perlu untuk selalu ditinjau kembali secara intensif melalui berbagai sudut pandang kritis, tanpa pretensi lain selain agar tujuan yang kita harapkan bersama dapat tercapai secara lebih optimal.

Kita tentu masih ingat bagaimana hampir semua stasiun televisi di tanah air berlomba-lomba memberitakan jalannya gerakan mahasiswa pada tahun 1998, penyebaran informasi itu segera disikapi oleh gerakan massa dari berbagai elemen di hampir seluruh nusantara, menciptakan sebuah wacana yang massif dan gerakan serentak mencapai satu tujuan, reformasi! Dan dalam rentang waktu yang relatif singkat gerakan tersebut akhirnya mampu melengserkan penguasa orde baru. Suatu percepatan yang hampir tak terbayangkan bisa terjadi pada era TVRI masih menjadi satu-satunya stasiun siaran televisi di Indonesia.

(more…)


# Tulisan ini adalah draft untuk sebuah penelitian yang lebih komprehensif mengenai peran kritik dan analisa film bagi perkembangan perfilman di Indonesia.

Mulawacana

Ini enggak fair, ini enggak fair…” demikian potongan dialog yang diucapkan Dian Sastro Wardhoyo sebagai tokoh Cinta saat melepas kepergian Rangga (Nicholas Saputra) yang akan pergi ke Amerika dalam film Ada Apa Dengan Cinta (A.A.D.C). “Enggak fair”,  sepenggal kalimat khas bahasa ungkapan anak muda ini―hasil kombinasi bebas antara bahasa Jakarta (enggak) dan bahasa Inggris (fair)―agaknya cukup dapat mewakili kondisi realitas  yang sedang dialami oleh kritik film, khususnya di Indonesia pada saat ini. Betapa tidak, sebagai sebuah ranah yang secara otomatis bergantung kepada film sebagai subyek utamanya, kritik film nampaknya cenderung hanya dipandang sebagai “subordinat”, yang keberadaan maupun ketidak-beradaannya tidaklah begitu berpengaruh—syukur kalau ada, tidak ada pun tak jadi masalah. Sebagian kalangan bahkan menanggapinya secara skeptis, kritik film hanya dilihat sebagai “benalu” yang menumpang hidup dari film, cuma pintar ngomong tapi tak pernah berbuat, cuma jago teori tapi prakteknya nol.

Padahal, sebagai suatu disiplin khusus kritik film semestinya ikut memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perkembangan dunia perfilman itu sendiri. Apa yang telah dilakukan oleh generasi Nouvelle Vague (New Wave) yang tersohor itu hanyalah salah satu contoh, untuk menilik bagaimana sebuah tradisi kritik film yang baik mampu mendewasakan karya-karya film Perancis;  bukankah mereka justru memulai karirnya sebagai sekumpulan kritikus film yang tergabung dalam jurnal Cahiers du Cinéma asuhan teoritikus  besar André Bazin?

Melalui tulisan ini saya akan mencoba menelusuri suatu asumsi mengenai kondisi realitas yang “enggak fair” terhadap eksistensi kritik film di Indonesia pada saat ini.

Film versus Kritik

Film dan  kritik  jelas menggunakan media yang berbeda, namun esensi perbedaan keduanya  justru bukan terletak pada media yang mereka pakai, melainkan pada maksud dan tujuan pembuatannya. Sebagai langkah awal dalam menelusuri esensi perbedaan dari kedua media tersebut, secara sederhana mungkin dapat kita mulai dengan menggunakan dua pertanyaan dasar, yaitu: Untuk maksud atau tujuan apa ia dibuat? Dan kepada siapa ia ditujukan? Melalui kedua pertanyaan tersebut, setidaknya kita dapat memiliki suatu gambaran, mengenai mengapa keduanya perlu tetap eksis, dan bagaimana mereka dapat menjadi suatu mekanisme dalam satu kesatuan utuh, saling mengisi kekurangan satu sama lain.

(more…)


Untuk Aiko Urfia Rakhmi

Sepenggal Awalan

Ironis… Pada jaman modern yang konon serba maju dan kontemporer ini kebanyakan orang justru lebih senang memandang  seni melalui suatu pemahaman yang pasif (kehilangan semangat kritisnya), seni atau kesenian hanya dipahami tak lebih daripada bentuk-bentuk, bukan lagi sebagai produk kebudayaan yang dihasilkan dari proses pencerapan terhadap realitas kehidupan, bukan lagi sebuah ‘lawan dialog’. Nilai sebuah karya seni hanya dilihat dari kaca mata fisik (materinya) belaka; indah, bagus, buruk, menghibur, membosankan, aneh,  menjual, dsb. Masyarakat anonim ini tidak lagi peduli, mengapa dan bagaimana karya seni itu dapat dikatakan bagus, buruk, menghibur, membosankan, aneh, indah, menjual, dsb. Proses kreatif sudah tidak lagi dihargai. Nilai karya seni sudah didangkalkan, ditenggelamkan dalam keriuhan gelombang lautan manusia anonim, kedalam pemahaman yang cetek! Padahal, seperti juga disimpulkan oleh banyak pemikir, kesenian justru memiliki peran yang penting dalam perkembangan peradaban manusia, seni justru menjadi ‘serambi’ bagi bangunan kebudayaan manusia, lalu dimanakah sebenarnya letak kesenian dalam kehidupan manusia ?

I.  Seni sebagai medium “pembebasan”

Manusia terlahir dalam dunia yang serba terbatas, Lalu apa yang sanggup membebaskannya dari keserbaterbatasan itu? Seni-lah jawabannya!”

Seperti manusia belajar berenang agar dapat mengapung di air, seperti itu juga kiranya fungsi seni bagi manusia. Bedanya, jika manusia belajar, berenang, terbang, berbahasa asing, membangun rumah, membuat pakaian dsb. hanya sebagai cara untuk membebaskan dirinya dari keterbatasan secara fisik, seni justru mengajarkan manusia bagaimana cara membebaskan diri dari semua keterbatasan tak terkecuali juga keterbatasan metafisik. Melalui karya seni manusia sanggup mewujudkan segala hal yang tadinya hanya ada di dunia ide yang maha kaya kedalam wujud yang lebih kongkret (walaupun pasti ada reduksi). Melalui kesenian seorang seniman dapat mengekspresikan apapun dari alam idenya kedalam karya (segala medium yang bisa dimanfaatkannya), dengan sangat bebas mengenai dunia dan di dunia ini, mengatasi semua keterbatasan fisik dan metafisik. Melalui mediumnya seorang seniman mampu ‘terbang’ kemana saja dia suka, mendobrak aturan-aturan yang berlaku, mempertanyakan kausalitas, sistem besar dunia, bahkan mempertanyakan eksistensi tuhan sekalipun. Sebab medium seni memiliki pilihan alternatif bahasa yang hampir tak terbatas. Itulah mengapa kesenian selalu sangat identik dengan kebebasan.

Pendapat mengenai seni sebagai medium ‘pembebasan’ ini ternyata juga didukung oleh para pemikir abad 20 yang tergabung dalam Institut Penelitian Sosial Frankfurt, melalui aliran filsafat kritis mereka yang mengukuhkan filsafat sebagai ‘praxis pembebas’. Adorno misalnya, sebagai salah satu tokoh dari komunitas itu menggugat pemisahan antara ‘science’ dan ‘art’ yang menurutnya merupakan suatu hasil yang menyedihkan dari abad lalu (modernisme abad 19). Adorno berusaha menggabungkan kembali keduanya sebagai ungkapan manusia pencipta yang bebas merdeka demi kemajuan masyarakat. Sedangkan pemisahan itu dilihatnya sebagai anggapan yang berat sebelah, seakan-akan kebenaran hanya berlaku dalam bidang ilmu sedangkan bagi kesenian hanya disisakan ‘rasa’ saja (EFK. h, 70).

(more…)


1970-asrul-sani (courtesy of picasaweb.google.com)

Jika ada seseorang bertanya, “Apa arti seorang Asrul Sani bagi anda?” maka akan saya jawab: “Beliau adalah guru analisa film saya yang pertama.” Ya, beliaulah yang pertama kali mengajarkan pemahaman tentang film kepada saya, meskipun seumur hidup saya bahkan tidak sekalipun sempat berbincang langsung dengan beliau (lho kok?). Yang terakhir ini memang merupakan satu dari sekian banyak hal yang sangat saya sayangkan dalam kehidupan saya.

Kisahnya berawal dari salah satu toilet di Fakultas Seni Pertunjukan (FSP-IKJ). Waktu itu saya masih tercatat sebagai mahasiswa jurusan Kajian Seni Pertunjukan (KSP) di Fakultas tersebut. Suatu hari saya hendak buang hajat kecil, seselesainya, tanpa disengaja saya menemukan sebuah buku yang teronggok begitu saja  di atas kusen pintu toilet. Mungkin tak sengaja tertinggal oleh pemiliknya yang sedang tergegas, atau—melihat penampilan fisiknya yang sudah begitu lusuh—sudah tak lagi diperlukan. Entahlah…

Dilihat dari penampilan fisiknya, buku itu terlalu sederhana, bahkan sejujurnya tidaklah begitu menarik. Halaman sampulnya hanya jilid kertas karton biasa, warnanya yang semula agaknya hijau mentah itu, sudah tak jelas lagi, kumal dan compang-camping, sudut-sudut lelembarannya pun sudah pada keriting. Pada halaman sampul tertulis judul dalam huruf tebal-tebal; Cara Menilai Sebuah Film (The Art of Watching Film), Joseph M. Boggs, terjemahan Drs. Asrul Sani. Penerbit Yayasan Citra. Terdapat juga sebuah gambar ilustrasi seorang lelaki berlari dikejar pesawat ‘capung’, yang dicuplik dari salah satu frame “North by Northwest”-nya Alfred Hitchcock.

Awalnya saya sempat ragu-ragu, dan meletakannya kembali pada tempat semula, sebab saya sadar kalau buku itu milik orang lain, lagi pun penampilan fisiknya lebih terkesan sebagai barang yang tak berharga. Namun sejurus kemudian, ada hal yang menggelitik rasa ingin tahu saya. Nama Asrul Sani terus saja terngiang di dalam pikiran saya saat itu, nama besar beliaulah yang begitu menggetarkan rasa penasaran saya. Sebenarnya sudah sejak lama saya mengagumi beliau, manusia yang dianugerahi tuhan dengan multi talenta itu, jadi, buku yang diterjemahkannya tentulah bukan sembarangan, demikian ramal saya. Akhirnya, setelah berjalan beberapa langkah saya putuskan untuk kembali lagi dan mengambilnya.

(more…)


born May 5, 1813, Copenhagen, Den.
died Nov. 11, 1855, Copenhagen

in full  SØren Aabye Kierkegaard Danish religious philosopher and critic of rationalism, regarded as the founder of existentialist philosophy. He is famous for his critique of systematic rational philosophy, particularly Hegelianism, on the grounds that actual life cannot be contained within an abstract conceptual system. With this stance, he intended to clear the ground for an adequate consideration of faith and, accordingly, of religion—specifically Christianity.

Kierkegaard, Søren.” Encyclopædia Britannica from Encyclopædia Britannica 2007 Ultimate Reference Suite .  (2010).


* Makalah untuk acara Diskusi dan Bedah Film “Mengenal Mahatma Gandhi dan Perjuangannya”. Diadakan oleh Jurusan Sosiologi UNAS. 31 Mei 2006.

Sebagian besar orang percaya bahwa film merupakan media yang lebih mudah dan mengasyikkan untuk dinikmati dibandingkan media-media lain. Sebagai sebuah media, bagaimanapun bentuk dan gayanya, film tetaplah merupakan suatu produk dari kebudayaan manusia yang “mewakili” dan merepresentasikan nilai-nilai dari pandangan kelompok masyarakat tertentu, semangat jaman tertentu, dan sudah pasti ideologi tertentu. Semua itu sebenarnya merupakan elemen-elemen yang secara alamiah menjadi integral dalam setiap karya film.

Masalahnya, secara teknis media film memiliki cara-cara atau sistem tersendiri yang dipakai untuk mengemas pesan-pesan secara lebih halus. Hal ini  biasanya ditujukan sebagai semacam “garansi” untuk menjamin elemen-elemen integral tersebut dapat tersampaikan dengan baik kepada penontonnya. Pada tataran mainstream sistem ini bahkan sudah diformulakan dan diujicobakan sedemikian rupa, sehingga efisiensi dan efektifitas-nya dalam mempengaruhi penonton benar-benar telah terbukti keampuhannya. Mungkin hal ini pula yang menjadikan film jauh lebih identik sebagai media “hiburan” ketimbang sarana untuk mengakses informasi. Padahal dengan menonton film, sudah jelas kita dicekoki dengan berbagai informasi yang kita terima baik secara sadar maupun tidak, suka maupun tidak suka, kita inginkan ataupun tidak kita inginkan. Jadi, dengan menonton film sebenarnya kita telah “dipaksa” untuk menelan informasi-informasi yang terkandung dalam film tersebut, atau tepatnya pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh para pembuatnya.

cinema_helmet (courtesy of http://www.bbc.co.uk)

Kondisi semacam inilah yang kemudian akan “menuntut” kita untuk bersikap lebih kritis terhadap media film. Kebanyakan orang hanya memberikan penilaian “baik atau buruk”, “suka atau tidak suka” terhadap tontonan (film) yang telah dikonsumsinya. Namun persoalannya tentu tidak selesai hanya sampai disini, terlebih ketika kita mencoba menggunakan media film sebagai “teks” untuk memahami sesuatu, seperti ideologi, atau paham dan perjuangan dari seorang tokoh tertentu misalnya. Dalam film yang (kita anggap) baik misalnya, belum tentu mengandung pesan yang sama baiknya seperti yang kita nobatkan kepada film tersebut secara fisikal, demikian juga dengan film yang (kita nilai) buruk, belum tentu pesan yang ingin disampaikan sama buruknya. Sampai disini, maka jelaslah mengapa kita memerlukan “perangkat” khusus untuk dapat “membaca” sebuah film dengan lebih jernih dan kritis.

Berikut ini akan diuraikankan secara singkat tentang beberapa landasan teori yang biasa digunakan sebagai “perangkat” untuk “membaca” media film:

(more…)


cinema (courtesy of http://www.socialanimal.co.uk)

Kesulitan pertama yang dihadapi saat menulis esai ini adalah bagaimana menguraikan sebuah abstraksi yang cukup jernih perihal sinema sebagai kegiatan ilmiah? (terlebih dalam kesempatan yang sangat terbatas). Kesulitan tersebut mungkin muncul karena pra-anggapan bahwa sinema (atau film, dalam istilah lebih umum) hingga saat ini cenderung diterima begitu saja, lebih sebagai mitos “seni hiburan” daripada sebagai kegiatan ilmiah. Namun, saya menimbang bahwa betapa pun abstraksi tersebut perlu tetap dilakukan, terutama demi menghindari jebakan solipstik. Esai ini sendiri merupakan sebuah usaha penyelidikan tahap awal yang mencoba merespon beberapa persoalan mendasar berikut ini: (1) Bagaimana sinema dapat dijelaskan sebagai lingkup dari kegiatan ilmiah? (2) Apa yang dapat direfleksikan secara filosofis terhadap sinema sebagai suatu kegiatan ilmiah? dan (3) Mengapa refleksi filosofis tersebut perlu disanggah/didukung? (4) Sikap seperti apa yang sebaiknya disarankan dalam rangka memahami inti persoalan tersebut?

Sinema sebagai Kegiatan Ilmiah

Meskipun tidak terlampau sulit untuk membuktikan keterkaitan yang sangat erat antara sinema dengan teknologi sebagai basis kekuatan mediumnya, namun demikian, menjelaskan sinema sebagai salah satu lingkup kegiatan ilmiah nampaknya akan menjadi suatu usaha yang cukup kompleks. Bukan hanya karena sebagian besar masyarakat awam telah terlanjur memahami mitos sinema sebatas sebagai “seni hiburan”, yang lahir dari rahim kebudayaan populer (baca: peradaban modern), akan tetapi juga disebabkan sedikit sekali para pelaku sinema (baik sineas maupun kritikus film) yang mau melakukan refleksi kritis secara sungguh-sungguh terhadap sinema sebagai bidang disiplin yang mereka geluti. Kondisi ini pada akhirnya telah mengakibatkan kecenderungan peyoratif (pendangkalan makna) terhadap istilah sinema sebagai salah satu penemuan di bidang media, yang telah menyumbangkan kontribusi cukup penting bagi perkembangan peradaban dunia hingga saat ini.

Abstraksi mengenai sinema sebagai bagian dari kegiatan ilmiah setidaknya dapat dilakukan melalui tiga metode pendekatan. Pertama, metode pendekatan historis; kedua, metode pendekatan ekonomis-industrialistis; dan ketiga, metode pendekatan semiologis/semiotis (terkadang juga hermenetis). Secara singkat, ketiga jenis metode pendekatan tersebut akan dijelaskan sbb.:

Secara historis, penemuan sinema (pada tahun 1895) akan nampak cukup jelas sebagai semacam akumulasi dari penemuan-penemuan ilmiah pada masa sebelumnya. Paling kurang dimulai dari penemuan camera obscura (Ibn al-Haitham, Arab: sekitar 1000); teknologi dasar fotografi (Daguerre dan Niepce, Prancis: 1826/27); hukum “ilusi gerak” atau stroboscopic effect (Michael Faraday, Inggris: sekitar 1850-an); gambar fotografi serial (Eadweard Muybridge, Inggris-AS: 1870); bahan baku strip/rol seluloid (George Eastman, AS: 1888); Kinetoscope (Thomas A. Edison, AS: 1894); dan akhirnya, penemuan Cinématographe (Lumière bersaudara, Prancis: 1895)[i] sebagai prototipe bagi mekanisme prosedural sinema modern yang kita kenal saat ini. Semua penemuan tersebut merupakan hasil dari pekerjaan ilmiah, yang tidak mungkin dilakukan tanpa menekuni ilmu pengetahuan tertentu secara khusus. Dari situ, dapatlah dikatakan bahwa sinema adalah hasil dari kegiatan ilmiah, atau setidaknya merupakan implementasi (terapan) dari hasil kegiatan ilmiah.

(more…)


Koesno Sutardji adalah salah seorang perwira tinggi kepolisian yang masih aktif. Belakangan ini namanya semakin beken, berita tentang dirinya gencar di berbagai media massa. Berawal dari keterlibatannya dalam seteru antara kepolisian dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yang memaksanya melepas jabatan Kabareskrim (Kepala Badan Reserse dan Kriminal). Koesno kini berbalik “menyerang” institusinya sendiri. Dari kesaksiannya terungkap informasi yang berhasil membongkar beberapa kasus korupsi mafia hukum yang juga melibatkan oknum-oknum kepolisian. Plot demi plot, kisah itu bergulir bagaikan melodrama yang mampu menarik perhatian khalayak. Sepak-terjang Koesno ternyata berujung cukup tragis, karena sekarang Koesno pun ditahan oleh kepolisian dengan tuduhan yang sama, yakni telah menerima suap dari oknum mafia yang ingin ia bongkar kasus kejahatan korupsinya.

Berbagai tanggapan spekulatif dari publik mulai bermunculan. Ada yang berasumsi semua itu hanya persoalan balas dendam, Koesno dendam pada kepolisian karena kehilangan jabatan. Polisi juga dendam kepada Koesno, karena dianggap “menistakan” nama kepolisian (baca: membeberkan keburukan oknum-oknum kepolisian). Ada pula yang menduga bahwa di balik semua kejadian itu sebenarnya ada motif-motif politis. Sebagian menganggap bahwa Koesno memang orang “bersih” yang sengaja dijadikan korban karena melawan kejahatan terorganisir. Yang lain berpendapat bahwa Koesno sendiri adalah bagian dari jaringan mafia tersebut, yang karena sakit hati tak kebagian jatah, lantas ia “bernyanyi”. Terlepas dari asumsi mana yang paling benar, namun, kisah (setengah-)fiktif di atas dapat menjadi sebuah ilustrasi menarik untuk melakukan sebuah refleksi filosofis.

Søren Aabye Kierkegaard (1813-1855)

Søren Aabye Kierkegaard (1813-1855), seorang filsuf asal Denmark menggunakan metafora Lompatan Keimanan (leap of faith)—dalam tulisannya Afsluttende uvidenskabelig Efterskrift (1846; Concluding Unscientific Postscript). Yang ia maksud dengan Lompatan Keimanan itu secara general adalah penggambaran suatu posisi filosofis ataupun kondisi psikologis dari seorang individu dimana ia telah berhasil mencapai tahapan kepribadian yang sangat matang; transenden (mengatasi nilai-nilai moral universal). Dengan mencapai tahap Lompatan Keimanan maka individu itu  akan mampu mengambil suatu keputusan yang benar tetapi bukan lagi karena didasari oleh nilai-nilai moral umum, melainkan justru atas dasar keimanannya itu sendiri (yang subyektif, transenden dan irasional). Kierkegaard mengilustrasikan tahap kematangan tersebut sebagaimana kisah Abraham yang karena Lompatan Keimanannya bersedia memenuhi permintaan Allah untuk mengorbankan Isaac, anak lelaki kesayangannya, meskipun “menyembelih” anaknya sendiri itu bertentangan dengan nilai-nilai moral secara umum, bahkan kecintaannya terhadap anaknya Isaac. (dalam Frygt og baeven [1843; Fear and Trembling])

(more…)

Hello world!

Posted: May 21, 2010 in Uncategorized

Hello world!

Please visit my simply blog at  https://budiwibawa.wordpress.com/