Untuk Aiko Urfia Rakhmi
Sepenggal Awalan
Ironis… Pada jaman modern yang konon serba maju dan kontemporer ini kebanyakan orang justru lebih senang memandang seni melalui suatu pemahaman yang pasif (kehilangan semangat kritisnya), seni atau kesenian hanya dipahami tak lebih daripada bentuk-bentuk, bukan lagi sebagai produk kebudayaan yang dihasilkan dari proses pencerapan terhadap realitas kehidupan, bukan lagi sebuah ‘lawan dialog’. Nilai sebuah karya seni hanya dilihat dari kaca mata fisik (materinya) belaka; indah, bagus, buruk, menghibur, membosankan, aneh, menjual, dsb. Masyarakat anonim ini tidak lagi peduli, mengapa dan bagaimana karya seni itu dapat dikatakan bagus, buruk, menghibur, membosankan, aneh, indah, menjual, dsb. Proses kreatif sudah tidak lagi dihargai. Nilai karya seni sudah didangkalkan, ditenggelamkan dalam keriuhan gelombang lautan manusia anonim, kedalam pemahaman yang cetek! Padahal, seperti juga disimpulkan oleh banyak pemikir, kesenian justru memiliki peran yang penting dalam perkembangan peradaban manusia, seni justru menjadi ‘serambi’ bagi bangunan kebudayaan manusia, lalu dimanakah sebenarnya letak kesenian dalam kehidupan manusia ?
I. Seni sebagai medium “pembebasan”
“Manusia terlahir dalam dunia yang serba terbatas, Lalu apa yang sanggup membebaskannya dari keserbaterbatasan itu? Seni-lah jawabannya!”
Seperti manusia belajar berenang agar dapat mengapung di air, seperti itu juga kiranya fungsi seni bagi manusia. Bedanya, jika manusia belajar, berenang, terbang, berbahasa asing, membangun rumah, membuat pakaian dsb. hanya sebagai cara untuk membebaskan dirinya dari keterbatasan secara fisik, seni justru mengajarkan manusia bagaimana cara membebaskan diri dari semua keterbatasan tak terkecuali juga keterbatasan metafisik. Melalui karya seni manusia sanggup mewujudkan segala hal yang tadinya hanya ada di dunia ide yang maha kaya kedalam wujud yang lebih kongkret (walaupun pasti ada reduksi). Melalui kesenian seorang seniman dapat mengekspresikan apapun dari alam idenya kedalam karya (segala medium yang bisa dimanfaatkannya), dengan sangat bebas mengenai dunia dan di dunia ini, mengatasi semua keterbatasan fisik dan metafisik. Melalui mediumnya seorang seniman mampu ‘terbang’ kemana saja dia suka, mendobrak aturan-aturan yang berlaku, mempertanyakan kausalitas, sistem besar dunia, bahkan mempertanyakan eksistensi tuhan sekalipun. Sebab medium seni memiliki pilihan alternatif bahasa yang hampir tak terbatas. Itulah mengapa kesenian selalu sangat identik dengan kebebasan.
Pendapat mengenai seni sebagai medium ‘pembebasan’ ini ternyata juga didukung oleh para pemikir abad 20 yang tergabung dalam Institut Penelitian Sosial Frankfurt, melalui aliran filsafat kritis mereka yang mengukuhkan filsafat sebagai ‘praxis pembebas’. Adorno misalnya, sebagai salah satu tokoh dari komunitas itu menggugat pemisahan antara ‘science’ dan ‘art’ yang menurutnya merupakan suatu hasil yang menyedihkan dari abad lalu (modernisme abad 19). Adorno berusaha menggabungkan kembali keduanya sebagai ungkapan manusia pencipta yang bebas merdeka demi kemajuan masyarakat. Sedangkan pemisahan itu dilihatnya sebagai anggapan yang berat sebelah, seakan-akan kebenaran hanya berlaku dalam bidang ilmu sedangkan bagi kesenian hanya disisakan ‘rasa’ saja (EFK. h, 70).
(more…)