Posts Tagged ‘Nouvelle Vague’


# Tulisan ini adalah draft untuk sebuah penelitian yang lebih komprehensif mengenai peran kritik dan analisa film bagi perkembangan perfilman di Indonesia.

Mulawacana

Ini enggak fair, ini enggak fair…” demikian potongan dialog yang diucapkan Dian Sastro Wardhoyo sebagai tokoh Cinta saat melepas kepergian Rangga (Nicholas Saputra) yang akan pergi ke Amerika dalam film Ada Apa Dengan Cinta (A.A.D.C). “Enggak fair”,  sepenggal kalimat khas bahasa ungkapan anak muda ini―hasil kombinasi bebas antara bahasa Jakarta (enggak) dan bahasa Inggris (fair)―agaknya cukup dapat mewakili kondisi realitas  yang sedang dialami oleh kritik film, khususnya di Indonesia pada saat ini. Betapa tidak, sebagai sebuah ranah yang secara otomatis bergantung kepada film sebagai subyek utamanya, kritik film nampaknya cenderung hanya dipandang sebagai “subordinat”, yang keberadaan maupun ketidak-beradaannya tidaklah begitu berpengaruh—syukur kalau ada, tidak ada pun tak jadi masalah. Sebagian kalangan bahkan menanggapinya secara skeptis, kritik film hanya dilihat sebagai “benalu” yang menumpang hidup dari film, cuma pintar ngomong tapi tak pernah berbuat, cuma jago teori tapi prakteknya nol.

Padahal, sebagai suatu disiplin khusus kritik film semestinya ikut memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perkembangan dunia perfilman itu sendiri. Apa yang telah dilakukan oleh generasi Nouvelle Vague (New Wave) yang tersohor itu hanyalah salah satu contoh, untuk menilik bagaimana sebuah tradisi kritik film yang baik mampu mendewasakan karya-karya film Perancis;  bukankah mereka justru memulai karirnya sebagai sekumpulan kritikus film yang tergabung dalam jurnal Cahiers du Cinéma asuhan teoritikus  besar André Bazin?

Melalui tulisan ini saya akan mencoba menelusuri suatu asumsi mengenai kondisi realitas yang “enggak fair” terhadap eksistensi kritik film di Indonesia pada saat ini.

Film versus Kritik

Film dan  kritik  jelas menggunakan media yang berbeda, namun esensi perbedaan keduanya  justru bukan terletak pada media yang mereka pakai, melainkan pada maksud dan tujuan pembuatannya. Sebagai langkah awal dalam menelusuri esensi perbedaan dari kedua media tersebut, secara sederhana mungkin dapat kita mulai dengan menggunakan dua pertanyaan dasar, yaitu: Untuk maksud atau tujuan apa ia dibuat? Dan kepada siapa ia ditujukan? Melalui kedua pertanyaan tersebut, setidaknya kita dapat memiliki suatu gambaran, mengenai mengapa keduanya perlu tetap eksis, dan bagaimana mereka dapat menjadi suatu mekanisme dalam satu kesatuan utuh, saling mengisi kekurangan satu sama lain.

(more…)