Posts Tagged ‘transitional policy’


Silang argumentasi antara John Rawls (1921-2002) dan Robert Nozick (1938-2002), mungkin menjadi salah satu wacana paling populer dalam sejarah kajian filsafat politik kontemporer. Perbedaan pendapat Rawls dan Nozick terletak pada teori mereka tentang prinsip “keadilan”. Rawls, adalah seorang liberal-sosialis, ia memandang bahwa keadilan masih bisa di capai melalui prinsip “perbedaan”, tetapi jika (dan hanya jika) perbedaan tersebut dapat mendatangkan yang terbaik bagi apa yang paling buruk (maximin principle). Sedangkan Nozick yang lebih berpegang pada paham libertarian (-ekstrem), memandang prinsip kebebasan adalah hal utama yang harus berlaku mutlak untuk sebuah konsep keadilan.

Baik Rawls maupun Nozick sebenarnya mengakui prinsip kebebasan (dan kesetaraan) sebagai fundamen utama bagi konsep keadilan mereka. Dalam pandangan Rawls misalnya, prinsip kebebasan tetap menjadi prioritas dibanding prinsip-prinsip yang lain. Rawls mengajak kita melakukan hipotesis (hypothetical agreement) untuk melihat prinsip “kebebasan” (liberty principle) pada posisi awali (original position). Baginya, setiap orang harus memiliki satuan mendasar (tingkat layak) kebebasan yang setara dan luas. Untuk prinsip kebebasan ini, Nozick nampaknya cenderung menerima pendapat Rawls. Yang dikritik oleh Nozick (dan golongan libertarian) terutama adalah konsep Rawls tentang prinsip “perbedaan” (difference principle).

(more…)


Bagi saya pribadi, kritik feminisme atas tata-negara merupakan hal yang sangat menarik untuk diamati, terutama karena kritik ini dapat dijadikan semacam model atau “platform” yang baik, bagi kasus-kasus diskriminasi pada wilayah yang lain (misalnya: kelas, agama, ras, etnis, negara dunia ketiga, dsb.).

Yang mesti ditekankan pertama-tama adalah bahwa persoalan feminisme dalam konteks ini bukan semata-mata menyangkut perbedaan seksual—seperti yang sering disalah-pahami—melainkan terkait dengan perbedan gender. Artinya, perbedaan biologis (seksual: alamiah) tersebut telah ditarik kepada persoalan perbedaan atas kategori-kategori bentukan sosial dan kultural (seperti juga yang terjadi pada kategori-kategori alamiah lainnya: ras, etnis, anak-anak, orang cacat, penduduk negara berkembang, dsb.). Dari situ akan terlihat, bahwa meskipun konsep-konsep hukum tata-negara telah dirancang atas dasar kebebasan dan kesetaraan, namun jelas tidak dengan begitu saja terbebas dari berbagai bentuk diskriminasi.

(more…)